SUMBAROPINI – Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam sengketa keterbukaan informasi publik terkait aktivitas dan sanksi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Sumatera Barat.
Putusan tersebut tertuang dalam Putusan MA Nomor 596 K/TUN/KI/2025, yang menyatakan bahwa seluruh informasi yang diminta LBH Padang merupakan informasi publik yang bersifat terbuka.
MA memerintahkan KLHK untuk menyerahkan seluruh dokumen yang dimohonkan tanpa pengecualian. Putusan ini sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 437/G/KI/2024/PTUN.JKT yang sebelumnya menyatakan gugatan keberatan LBH Padang tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menilai bahwa KLHK tidak dapat membuktikan adanya potensi dampak negatif jika informasi tersebut dibuka ke publik. Oleh karena itu, alasan pengecualian informasi yang diajukan KLHK dinyatakan tidak berdasar hukum.
Mahkamah menegaskan bahwa dokumen yang dimohonkan LBH Padang berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat dan kondisi lingkungan hidup, sehingga tidak dapat dikecualikan dengan alasan apa pun.
Putusan ini memperkuat prinsip bahwa akses terhadap informasi lingkungan merupakan hak asasi warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, MA juga menghukum KLHK untuk membayar biaya perkara di seluruh tingkat pengadilan.
“Putusan ini adalah kemenangan publik dan tonggak baru bagi penegakan hukum lingkungan,” ujar Advokat Publik LBH Padang, Alfi Syukri.
Alfi menambahkan bahwa perjuangan selama dua tahun ini merupakan upaya untuk memastikan transparansi negara dalam pengelolaan lingkungan.
“Pemerintah yang baik dan transparan tidak seharusnya menutup-nutupi informasi yang menyangkut keselamatan warga dan lingkungan. Warga berhak tahu apakah udara yang mereka hirup dan air yang mereka gunakan aman atau tercemar,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa KLHK wajib segera menindaklanjuti putusan tersebut. “Putusan ini tidak boleh berhenti di atas kertas. Jika KLHK tidak membuka dokumen yang diwajibkan Mahkamah Agung, kami akan menempuh langkah hukum untuk mengeksekusi putusan,” ujarnya.
Sementara itu, Novita, juru kampanye energi dari organisasi Trend Asia, menyebut putusan ini sejalan dengan riset terbaru Toxic-20 yang menunjukkan bahwa operasional PLTU Ombilin dikaitkan dengan 21 kematian per tahun akibat polusi udara.
“Sudah seharusnya PLTU Ombilin dipensiunkan agar tidak semakin memberikan dampak buruk kepada masyarakat,” katanya.
Diketahui, sengketa keterbukaan informasi ini bermula pada tahun 2024, ketika LBH Padang mengajukan permohonan kepada KLHK untuk membuka data dan dokumen mengenai pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PLTU Ombilin di Sijantang Koto, Sumatera Barat.
Permohonan tersebut ditolak oleh Komisi Informasi Pusat (KIP). LBH Padang kemudian mengajukan Gugatan Keberatan ke PTUN Jakarta, namun pengadilan juga menyatakan informasi yang diminta merupakan informasi yang dikecualikan.
Tidak berhenti di situ, LBH Padang mengajukan Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung pada 28 Februari 2025, hingga akhirnya MA memutuskan bahwa informasi tersebut bersifat terbuka pada 9 Oktober 2025.
Berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung, KLHK diwajibkan untuk membuka dan menyerahkan sejumlah dokumen terkait PLTU Ombilin, antara lain:
Surat Keputusan Sanksi Administratif terhadap PLTU Ombilin tahun 2018 beserta rincian penataan dan perpanjangan sanksi;
Laporan swapantau pelaksanaan RKL-RPL periode 2018–2023;
Laporan pemantauan emisi 2018–2023 melalui sistem CEMS dan pemantauan manual;
Seluruh AMDAL dan izin lingkungan sejak awal beroperasi hingga 2017, serta klarifikasi kewajiban hukum terkait dampak kesehatan publik dan kualitas udara;
Laporan pengelolaan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) period.(red)


